Tugas :
“KEKUATAN POLITIK INDONESIA”
(Peran Birokrasi)
Di
susun Oleh :
agustan
B 401 11 050
JURUSAN
ADMINISTRASI NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2012
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha kuasa karena atas
rahmat dan karunianyalah Makalah yang berjudul KEKUATAN POLITIK MELALUI PERAN
BIROKRASI ini dapat kami selesaikan, makalah ini penulis susun berdasarkan buku
resensi dan internet.
Kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi bahan
pengetahuan bagi masyarakat ataupun orang banyak,dengan demikian wawasan
mahasiswa ataupun masyarakat yang membaca makalah ini bertambah luas.
“Tiada Gading Yang Tak
Retak” demikian kata pepatah menyatakan segala
kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.
Akhirnya,Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing
yang telah memberikan saran dan pendapatnya sehingga makalah ini bisa terbit.
Wassalamu Alaikum WR WB
DAFTAR ISI
HAL.
JUDUL......................................................................................................
KATA
PENGANTAR........................................................................................
i
DAFTAR
ISI.......................................................................................................
ii
BAB I. Pendahuluan
A.
Latar
belakang......................................................................................
01
B.
Rumusan
Masalah................................................................................
02
C.
Tujuan...................................................................................................
02
BAB II. Pembahasan
A.
Pengertian
Birokrasi.............................................................................03
B.
Ciri-ciri
Birokrasi..................................................................................03
C.
Asas-asas
Birokrasi...............................................................................05
D.
Pokok-Pokok Kebijakan Reformasi
Birokrasi..................................06
BAB III. Penutup
A.
Kesimpulan..........................................................................................12
B.
Saran.....................................................................................................12
DAFTAR
PUSTAKA.........................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar
belakang
Kekuatan-kekutan
politik di manapun di atas dunia selalu pada dirinya mencerminkan
masalah-masalah mendalam ke sejarahan dan struktural dimana kekuatan-kekuatan
politik kontenporer yang menampilkan diri sebagai PARPOL, Angkatan Bersenjata,
Pemuda, Mahasiswa, Kaum Intelektual dan golongan pengusaha, kelompok-kelompok
penekan lain nya serta Brokrasi malah sering di kemukakan sebagai bentuk-bentuk
luar dari masalah-masalah mendalam seperti perkembangan
pikiran,ideologi,nilai-nilai, struktur sosial dan ekonomi.
Jika
kekuatan politik dilihat secara demikian analisa dan deskripsi serta
pemahaman-pemahaman mengenai kecenderungan-kecenderungan politik serta
kekuatan-kekuatan politik yang terlibat di dalamnya akan bersifat menyeluruh
dan mendalam serta yang lebih penting lagi akan memiliki dimensi sruktural dan
kesejarahan.
Birokrasi berasal
dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai
suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada
ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
Pada rantai
komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dengan jelas dalam organigram. Organisasi inipun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung
kurang fleksibel.Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus
dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.
b.
Rumusan
masalah
1. Mengenal
apa yang di maksud dengan birokrasi
2. mengetahui
bagaimana perang dari birokrasi tersebut pada masa orba,orla dan revormasi
c.
tujuan
adapun beberapa tujuan mengapa kita perlu
mempelajari tentang KEKUATAN POLITIK INDONESIA adalah sebagai berikut:
1. kita
dapat mengetahui bagaimana sistem birokrasi yang ada di Indonesia
2. Kita
dapat mengetahui ciri-ciri birokrasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara
teoritis birokrasi adalah alat kekuasaan untuk menjalankan keputusan-keputusan politik,
namun dalam prakteknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang potensial
yang dapat merobohkan kekuasaan. Birokrasi juga merupakan alat politik untuk
mengatur dan mewujudkan agenda-agenda politik, sifat kekuasaan aparat birokrasi
sebenarnya bukan tanpa kendali tetapi tetap dibatasi oleh perangkat kendali
dari luar dan dari dalam. Birokrasi juga dapat dibedakan dengan dua tipe, yaitu
tipe birokrasi klasik dan birokrasi perilaku.
Max
Weber memandang Birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang
terdiri atas pejabat-pejabat atau sekelompok yang pasti dan jelas pekerjaannya
serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi.
B.
Ciri-ciri birokrasi dan
pelaksanaan nya
menurut Max Weber ciri-ciri birokrasi antara
lain :
§ Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkis. (Administratice offices are organized
hierarchically)
§ Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (Each office has its own area of competence)
§ Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada kualifikasi
teknik yang ditunjukan dengan ijazah atau ujian. (Civil cervants are appointed, not electe, on the basis of
technical qualifications as determined by diplomas or examination)
§ Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau kedudukannya.
(Civil servants receive fixed salaries
according to rank)
§ Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya, pekerjaannya
sebagai pegawai negeri. (The job is a
career and the sole, or at least primary, employment of the civil servant)
§ Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri. (The official does not own his or her office)
§ Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan. (the official is subject to control and
discipline)
§ Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi rata-rata. (Promotion is based on superiors judgement)
Dalam
pemerintahan, kekuasaan publik dijalankan oleh pejabat pemerintah atau para
birokrat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan peranan dan fungsinya dalam
sistem birokrasi negara dan harus mampu mengendalikan orang-orang yang
dipimpinnya. Birokrasi dalam hal ini mempunyai tiga arti, yaitu :
1. Sebagai tipe organisasi yang khas;
2. Sebagai suatu sistem;
3. Sebagai suatu tatanan jiwa tertentu
dan alat kerja pada organ negara untuk mencapai tujuannya.
Fritz
Morstein Marx mengatakan (terjemahan) :
“bahwa tipe organisasi
yang dipergunakan pemerintah yang modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas
yang bersifat spesialis, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya
oleh aparatur pemerintah”.
Birokrasi
juga dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang
dilakukan banyak orang, birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi untuk
mencapai tugas-tugas administrasi besar dengan cara mengkoordinasi secara
sistematis atau teratur pekerjaan dari banyak orang. Birokrasi sebagai suatu
sistem kerja dimaksudkan sebagai sistem kerja yang berdasarkan atas tata
hubungan kerja sama antara jabatan-jabatan secara langsung mengenai persoalan
yang formil menurut prosedur yang berlaku dan tidak adanya rasa sentimen tanpa
emosi atau pilih kasih, tanpa pamrih dan prasangka.
Apa
yang ingin ditonjolkan disini adalah suatu tata hubungan antara
jabatan-jabatan, pejabat-pejabat, unit instansi dan departemen pemerintahan.
Dalam tata hubungan ini, bagaimana suatu penyampaian gagasan, rencana,
perintah, nilai-nilai, perasaan dan tujuan dapat diterima dengan baik oleh
pihak lain sebagai penerima dengan cara penyampaiannya harus mudah dan tepat
serta berdasarkan hukum.
Untuk mengetahui kondisi Orde Lama, disini dipakai konsep
yang diambil Mahfud MD dari penjelasan Yahya Muhaimin, bahwa dalam model bapakisme
(hubungan bapak-anak), “bapak” (patron) dilihat sebagai tumpuan dan sumber
pemenuhan kebutuhan material bahkan spritual serta pelepasan kebutuhan
emosional “anak-bapak” (client) dan sebaliknya para anak buah dijadikan
sebagai tulang punggung yang setia dari bapak, membantu terselenggaranya
upacara-upacara keluarga, memasuki atau keluar dari organisasi politik yang
dikehendaki oleh bapak, bahkan tak jarang bersedia berkorban jiwa untuk
mempertaruhkan kepentingan bapak yang harus dihormati, ditaati, dan pantang
ditentang.
Sebagaimana karier politik seseorang begitu juga halnya
dengan pekerjaan dan jabatan-jabatan birokrasi bersandar kepada kecerdikannya
memelihara dan memanfaatkan hubungan pribadi dan hubungan politik lebih banyak
ditentukan oleh persetujuan dan penunjukan dari pemegang jabatan di tingkat
atas. Keadaan birokrasi di Indonesia masa kini dipengaruhi oleh peninggalan
masa lampau berupa konsep politik kelompok etnis Jawa tradisional yang
aristokratis.
Pada masa Mataram kuno mengenal kelompok punggawa
(priyayi) atau pejabat yang diberi hak atas tanah, menarik pajak atau
sejenisnya dari rakyat tanpa batasan maupun peraturan yang pasti lalu diberikan
kepada raja setelah diambil sekedarnya oleh para punggawa (abdi dalem)
tersebut.
Pada sistem ini tak ada kekuatan penyeimbang di luar
birokrasi yang mampu melakukan kontrol terhadap aparat birokrasi. Sehingga
membuat birokrasi suka bertindak sewenang-wenang dan tak merasa bertanggung
jawab kepada rakyat, dan di pihak rakyat menjadi pasif, tak aktif
berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi. (Mahfud MD., 1993 : 112).
Menurut Isa Anshori, semenjak kemerdekaan birokrasi
diperlakukan sebagai kelas istimewa, hal ini dimaklumi bahwa pada saat itu
birokrasi merupakan sarana yang mempersatukan bangsa. Berlanjut pada era
demokrasi parlementer, birokrasi menjadi incaran dari berbagai kekuatan politik
yang ada. Misalnya partai-partai politik mulai melirik untuk menguasai
birokrasi pemerintah, bahkan antara tahun 1950-1959 birokrasi pemerintahan
berada dibawah kepemimpinan partai politik yang menjadi mayoritas di dalam
parlemen. Parlemen menjadi kuat, tetapi sebaliknya lembaga eksekutif semakin
lemah. Namun, rakyat tetap saja tak beruntung karena birokrasi menjadi lahan
KKN partai politik.
Kehidupan politik yang demokratik pada masa pasca
kemerdekaan yang di warnai oleh sistem pemerintahan parlementer membawa
implikasi yang besar terhadap birokrasi Indonesia. Yang menjadi kepala
pemerintah adalah Perdana Menteri yang merekrut para menteri dari partai-partai
politik tertentu sesuai dengan bentuk koalisi pemerintahan yang terjadi pada
waktu itu.
Maka, yang terjadi kemudain adalah para menteri yang
direkrut tersebut menjadikan departemen yang dipimpinnya sebagai sumber
mobilisasi dukungan bagi partai politiknya. PNI menguasai departemen dalam
negeri dan departemen penerangan, Masyumi dan NU menguasai departemen agama.
Menurut Afan Gaffar (2006: 232) Birokrasi pasca
kemerdekaan mengalami proses politisasi, sekaligus fragmentasi. Sekalipun
jumlahnya tidak terlampau besar, aparat pemerintah bukanlah sebuah organisasi
yang menyatu karena sudah terkapling-kapling kedalam partai-partai politik yang
bersaing dengan intensif guna memperoleh dukungan.
Hal itu berjalan terus sampai masa pemerintahan demokrasi
terpimpin. Arah gerak birokrasi masih mengalami polarisasi yang sangat tajam
dengan mengikuti arus polarisasi politk masyarakat. Sekalipun pengaruh partai
politik sedikit-demi sedikit mengalami penagruh terbatas, karena dibubarkan
oleh Soekarno. Kecuali PKI dan Angkatan Darat.
Meminjam pendapat Karl D. Jakson, melihat Orde Baru
sebagai Bureaucratic polity
atau Negara Birokratik. Dalam negara seperti ini, biasanya sekelompok kecil
elite menguasai sepenuhnya penggambilan keputusan politik negara. Sementara
masyarakat hanya dilibatkan dalam proses implementasi kebijakan.
Dwight King menyebutnya Orde Baru sebagai Bereaucratic Authoriterian with limited
purality. Artinya birokrat baik Sipil maupun Militer memang sangat
dominan, bahkan cenderung otoriter, tetapi warna pluralisme tetap ada,
sekalipun terbatas. Yaitu, dengan mengorganisasikan kepentingan secara korporatis,
seperti kepentingan buruh, petani, guru dan lain sebagainya, yang disusun
secara vertikal, tidak horizontal yang dikenal dalam demokrasi.
Harold Crouch menyebutnya state-qua state. Ruth McVey mengatakan Beamtenstaat atau Negara pejabat. Sedangkan William Liddle
mengajukan tiga jajaran utama, dengan membuat piramida kekuasaan di Indonesia
yaitu, presiden dengan semua atributnya, angkatan bersenjata, dan birokrasi.
Kekuasaan presiden menempati puncak piramida yang ada dalam struktur kekuasaan
secara keseluruhan. Sekalipun menurut konstitusi presiden mempunyai kedudukan
yang sama dengan lembaga tinggi negara lainnya, seperti DPR, MA, BPK, dan DPA.
Tetapi presiden merupakan primus inter
pares, yang utama dari yang setara. Presiden mengontrol rekruitmen politik
dalam negara, termasuk untuk jabatan lembaga tinggi negara, seperti anggota
legislatif dan yudikatif. Jajaran kedua adalah Angkatan Bersenjata.
Pada kehidupan politik Orde Baru, angkatan bersenjata
mempunyai peranan politik yang sangat penting, terutama Angkatan Darat sebagai
stabilisator dan dinamisator politik. ABRI bergerak dibidang politik, ekonomi,
sosial kemasyarakatan, termasuk bidang olah raga dan kesenian. ABRI memainkan
peranan politiknya secara langsung melalui organisasi sosial dan politik yang
ada, misalnya pada Golkar.
Jajaran ketiga adalah Birokrasi. Bahwa pengaruh birokrasi
dalam sistem politik Orde Baru sangat tinggi. Karena Masyarakat sulit untuk
menghindar dari berurusan dengan Birokrasi. Misalnya mengurus surat izin usaha,
kesulitan dan kerumitan bila tidak dilampirkan dengan sesajen. Rakyat di anggap
bodoh dan tidak perlu tahun ini itu (Afan Gaffar, 2006: 36,37,38,39).
Lanjut Afan Gaffar, Indonesia pada masa Orde Baru telah
terjadi proses depolitisasi yang sangat efektif terhadap institusi yang ada.
Depolitisasi dilakukan dengan cara: pertama, dengan mewujudkan konsep ”massa mengambang” atau ”floating mass”. Kontrol politik
terhadap partai politik non-pemerintah akan semakin gampang dilakukan.
Depolitisisasi massa dijalankan untuk mencapai Dua tujuan utama.
Pertama, agar pemerintah Orde Baru dengan mudah membentuk
format politik yang sesuai dengan kehendaknya. Kedua, sebagai dasar bagi
terwujudnya stabilitas politik yang sangat di perlukan dalam rangka
menyukseskan pembangunan ekonomi nasional. Kedua, mewujudkan prinsip
monoloyalitas terhadap semua pegawai negeri atau yang bekerja dalam lingkunagan
instansi pemerintahan. Ketiga, emaskulasi partai-partai politik yang ada. Hal
tersebut dilakukan dengan dua macam cara, yaitu dengan melakukan ”regrouping” atau
penyederhanaan sistem kepartaian dan mengontrol rekruitmen pimpinan utama
partai tersebut, sehingga partai-partai tersebut mempunyai pimpinan yang
akomodatif dengan pemerintah.
Pemerintah sudah menganggap bahwa reformasi
birokrasi adalah suatu kegiatan yang memang harus segera dilakukan, sehingga
program ini sudah mulai dicanangkan sejak tahun 2004, bahkan begitu pentingnya
reformasi birokrasi ini sehingga dalam Kabinet Indonesia Bersatu II yang dibentuk oleh Presiden pada tanggal 22
Oktober 2009 mencanangkan program reformasi birokrasi dengan memasukkan unsur
nomenklaturnya dalam kementrian.
Hal tersebut
dapat dilihat dari penamaan kementrian yang ada komponen penambahan reformasi
birokrasi yaitu dalam wadah Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi.Penambahan fungsi kelembagaan tersebut mencerminkan bahwa
reformasi birokrasi menjadi salah satu prioritas dan perlu segera dituntaskan
dalam bentuk program yang nya ta. Bahkan pada masa akhir Kabinet Indonesia
Bersatu I, pemerintah sudah mencanangkan bahwa reformasi birokrasi sudah
selesai pada tahun 2011 untuk tingkat kementrian dan lembaga.
Dalam pidato
kenegaraan yang disampaikan pada sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah
tanggal 19 Agustus 2009, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menekankan bahwa
pembenahan birokrasi merupakan proses yang berkesinambungan dan menyeluruh
karena menyangkut perubahan sikap dan tingkah laku seluruh jajaran aparat
pemerintah dari tingkat paling tinggi hingga tingkat pelaksana.
Lebih lanjut lagi dikemukakan bahwa perubahan
tersebut tidak hanya menyangkut struktur organisasi, juga menyangkut cara
kerja, disiplin dan komitmen pada kinerja serta terbangunnya sistem insentif
dan hukuman yang adil dan setara.Pidato
ini dapat tanggapan dan meragukan apa betul pada tahun 2011 sudah dapat
dituntaskan karena kesiapan dari perangkat peraturan perundangan yang belum
lengkap, juga perlu adanya reorganisasi dan restrukturisasi organisasi
pemerintah serta perbaikan sistem dan rekruitmen Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dalam reorganisasi lembaga pemerintah harus ada keberanian untuk merampingkan
struktur organisasi instansi pusat dan kemungkinan penambahan untuk instansi
daerah
Sedangkan untuk tata laksana adalah dengan
terwujudnya ketatalaksanaan yang lebih cepat, tidak berbelit, mudah dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani. Berbelitnya ketatalaksanaan berupa
prosedur kerja tentu saja akan berdampak terhadap tingkat pelayanan kepada
masyarakat, misalnya proses pengurusan perijinan membutuhkan waktu yang lama
dan akan berdampak pula terhadap biaya pengurusan perijinan tersebut yang
menjadi lebih mahal dan tidak efisien.
Dengan pelaksanaan reformasi birokrasi ini
diharapkan terciptanya Good Governance yaitu
suatu tata pemerintahan yang baik, dimana adanya suatu sistem yang memungkinkan
terjadinya pemerintahan negara yang efisien dan efektif dengan menjaga sinergi
antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Pemerintah selalu berusaha untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi swasta dan masyarakat dengan
memberikan kemudahan untuk pengaturan perijinan dan peningkatan pelayanan,
sementara swasta menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan
masyarakat, dan masyarakat sebagai pengawas kebijakan dan pelaksana kebijakan
pemerintah sehingga adanya social control.
Untuk
menciptakan negara yang demokratis dengan menekan tingkat korupsi serta untuk
mewujudkan good governance, maka perlu
ada reformasi birokrasi yaitu perubahan mendasar menuju perbaikan dalam hal
birokrat yang profesional dan kompeten sebagai pelaku penyelenggara negara,
penyempurnaan kelembagaan yang fleksibel, efisien dan efektif, serta perbaikan
sistem dan prosedur yang simpel dan tidak berbelit disinilah peranan arsip dan management
kearsipan terutama dalam penyediaan arsip sebagai informasi dan sumber
informasi untuk bahan pertanggungjawaban dan penyajian secara transparan.
Arsip Nasional RI bekerja sama dengan Kementerian
Komunikasi dan Informatika sebagai penangung jawab dan pembina informasi publik merumuskan dan
membuat daftar arsip yang dapat diakses untuk publik yang tercipta dari
masing-masing lembaga pencipta. Daftar arsip yang dapat diakses ini nantinya
yang akan dijadikan oleh pencipta arsip pada lembaga pemerintah k hususnya
untuk dapat disajikan kepada pengguna informasi.
Birokrat
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya harus dilandasi persepsi dan
kesadaran hukum yang tinggi, adapun ciri-ciri birokrasi, yaitu :
1.
Adanya pelaksanaan
prinsip-prinsip organisasi dengan sepenuhnya;
2.
Adanya peraturan yang
benar-benar ditaati;
3.
Para pejabat bekerja
dengan penuh perhatian menurut kemampuan masing-masing (sense of belonging);
4.
Para pejabat terikat
oleh disiplin;
5.
Para pejabat diangkat
berdasarkan syarat-syarat teknis berdasarkan peraturan (meryt system);
6.
Adanya pemisahan yang
tegas antara urusan dinas dan urusan pribadi.
C. Asas-Asas
Birokrasi
Dalam
melaksanakan birokrasi negara, setiap pejabat dalam melaksanakan tugasnya
dilengkapi dengan dua asas, yaitu:
1. Asas Legalitas
Asas
ini berarti tidak ada satu pun perbuatan atau keputusan dari pejabat atau para
birokrat yang bersangkutan, boleh dilakukan tanpa dasar suatu ketentuan
undang-undang, untuk itu para pejabat atau para birokrat harus memperhatikan
delapan unsur legalitas, yaitu peraturan tertulis, penyebaran atau penggunaan
peraturan, tidak berlaku surut, peraturan bisa dimengerti, tidak bertentangan
satu sama lain, tidak menuntut diluar kemampuan orang, tidak sering
berubah-ubah dan sesuai antara peraturan dan pelaksanaannya.
2. Asas Freies
Ermessen atau Diskresi
Artinya
pejabat atau para birokrat tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan
alasan tidak ada peraturan, oleh karena itu diberikan kebebasan untuk mengambil
keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas legalitas.
Dalam
setiap hal yang dikerjakan oleh aparatur administrasi negara, dapat dilihat apa
yang menjadi hak, kewajiban, tanggung jawab serta peranan aparatur administrasi
negara. Adapun hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang aparatur
administrasi negara (birokrat) adalah :
1. Wajib
atau taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Wajib
membuat suatu kebijaksanaan terhadap suatu hal walaupun tidak ada peraturan
yang mengaturnya, hal ini sesuai dengan freies
ermessen;
3. Harus
sesuai dengan susunan pembagian tugas;
4. Wajib
melaksanakan prinsip-prinsip organisasi;
5. Wajib
melaksanakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).
Birokrasi
yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi
melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Masyarakat
selama ini masih berpandangan bahwa birokrasi (administrasi negara) sama dengan
pemerintah, padahal keduanya berbeda dan tidak dapat disamakan.
D.
Pokok-Pokok
Kebijakan Reformasi Birokrasi
-
dasar
pelaksanaan Reformasi Birokrasi (RB)
Dasar
pelaksanaan Reformasi Birokrasi adalah Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010
tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 20 Tahun 2010
tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Secara teknis kedua
kebijakan tersebut dilengkapi dengan berbagai pedoman yang termuat dalam
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 7
s.d 15 Tahun 2011.
Ø
Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 15 Tahun 2008
Permenpan tersebut sudah tidak berlaku. K/L
yang masih menggunakan pedoman tersebut untuk mengajukan RB agar melakukan
perbaikan dan penyesuaian sesuai dengan Perpres 81/2010 dan juga Permenpan dan
RB 20/2010. Perbaikan dokumen tersebut dapat dikirimkan ulang.
Birokrasi menguasai banyak aspek dari hajat hidup
masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, perizinan usaha sampai
urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari birorkasi.
Ketergantungan masyarakat sendiri terhadap birokrasi juga masih sangat besar.
Ditinjau dari aspek kebudayaan, aparatur birokrasi
memiliki status sosial yang tinggi di tengah masyarakat. Status sosial tersebut
merupakan aset kekuasaan, karena orang cenderung mau tunduk pada orang lain
yang memiliki status sosial lebih tinggi.
Dalam kaitan penyelenggaraan pemerintahan, dengan
sifat dan lingkup pekerjaannya, birokrasi menguasai aspek-aspek yang sangat
luas dan strategis. Birokrasi menguasai akses-akses sumber daya alam, anggaran,
pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang
tidak dimiliki pihak lain.
Dengan posisi dan kemamampuan besar yang dimilikinya
tersebut, birokrasi bukan saja mempunyai akses yang kuat untuk membuat
kebijakan yang tepat secara teknis, tetapi juga mendapat dukungan yang kuat
dari masyarakat dan dunia usaha.
Birokrasi dengan aparaturnya juga memiliki berbagai
keahlian teknis yang tidak dimiliki oleh pihak-pihak non birokrasi, seperti
dalam hal perencanaan pembangunan,
pengelolaan infrastruktur, penyelenggaraan pendidikan, pengelolaan
transportasi dan lain-lain.
Birokrasi di Indonesia juga memegang peranan penting
dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, serta
dalam evaluasi kinerjanya. Dari gambaran di atas nyatalah, bahwa birokrasi di
Indonesia memiliki peran yang cukup besar. Besarnya peran birokrasi tersebut
akan turut menentukan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan program dan
kebijakan pembangunan
Jika birokrasi buruk, upaya
pembangunan akan dipastikan mengalami banyak hambatan. Sebaliknya, jika
birokrasi bekerja secara baik, maka program-program pembangunan akan berjalan
lebih lancar. Pada tataran ini, birokrasi
menjadi salah satu prasyarat penting keberhasilan pembangunan.
Di tengah posisinya yang cukup strategis, birokrasi di
Indonesia sulit menghindar dari berbagai kritik yang hadir yaitu:
1. Buruknya
pelayanan publik
2. Besarnya
angka kebocoran anggaran negara
3. Rendahnya
profesionalisme dan kompetensi PNS
4. Sulitnya
pelaksanaan koordinasi antar instansi
5. Masih
banyaknya tumpang tindih kewenangan antar instansi, aturan yang tidak sinergis
dan tidak relevan dengan perkembangan aktual, dan masalah-masalah lainya.
6. Birokrasi
juga dikenal enggan terhadap perubahan, eksklusif, kaku dan terlalu dominan,
sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan
birokrasi
7. Tingginya
biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama,
banyaknya pintu layanan yang harus dilewati dan tidak berperspektif pelanggan.
Dalam survei Doing Business 2009 yang dibuat oleh International
Finance Corporation (IFC) di 181 negara, Indonesia berada pada urutan 129.
Survei yang dilakukan terhadap 10 indikator berusaha, yaitu: starting a business, dealing with construction permits, employing workers,registering property, getting credit, dan protecting investor.
Selain itu paying
taxes, trading across
borders, enforcing
contract serta closing
a business.
Dari kesepuluh indikator tersebut,
Indonesia hanya mengalami kemudahan berusaha dalam halgetting credit, yakni kemudahan memperoleh kredit yang merupakan
buah kerja Bank Indonesia yang mememberikan kemudahan dan informasi institusi
keuangan, termasuk profil risiko peminjam.
Posisi
Indonesia berada jauh di bawah Thailand yang menduduki peringkat 13, Malaysia
di urutan 20, dan Vietnam posisi ke 92.
Indonesia
hanya sedikit di atas Kamboja dengan peringkat 135 dan Filipina dengan urutan
140. ASEAN perlu berbangga karena negeri jiran, Singapura, mempertahankan
posisinya di peringkat pertama, disusul urutan berikutnya Selandia Baru, AS,
Hong Kong, dan Denmark.
R Nugroho
Dwijowiyoto (2001) menyatakan kondisi riil birokrasi Indonesia saat ini,
digambarkan sebagai berikut :
1. Secara
generik, ukuran keberhasilan birokrasi sendiri sudah tidak sesuai dengan
tuntutan organisasional yang baru. Di Indonesia, birokrasi di departemen atau
pemerintahan paling rendah, yang diutamakan adalah masukan dan proses, bukan
hasil. Karenanya, yang selalu diperhatikan oleh para pelaku birokrasi adalah
jangan sampai ada sisa pada akhir tahun buku.
2. Birokrasi
kita tidak pernah menyadari bahwa ada perubahan besar di dunia. Di mana semua
hal harus mengacu kepada pasar, bisnis harus mengacu kepada permintaan pasar,
dan kalau mau berhasil dalam kompetisi ia harus mampu melayani Pasar birokrasi
adalah seluruh masyarakat, yang dilayani oleh birokrasi bukannya pejabat
pemerintahan atau pimpinan birokrasi itu sendiri, tetapi rakyat.
3. Birokrasi
sangatlah commanding dan
sentralistik, sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan zaman mondial kini dan
masa depan, di mana dibutuhkan kecepatan dan akurasi pengambilan keputusan.
BAB
III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Birokrasi
adalah alat kekuasaan bagi yang menguasainya, dimana para pejabatnya secara
bersama-sama berkepentingan dalam kontinuitasnya Birokrasi juga memegang peranan
penting dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan berbagai kebijakan publik,
termasuk evaluasi kinerjanya. Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara
pelayanan publik sering atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan
efektif. Untuk mendorong terbentuknya suatu pemerintahan yang bersih dan
berwibawa maka segenap aparatur pemerintah (birokrat) wajib melaksanakan tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kekuatan birokrasi Indonesia
sebenarnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu
didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat.
Administrasi
negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat negara yang menjalankan
tugas-tugas negara, diantaranya menjalankan tugas pemerintahan. Pemikiran ini
mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama dengan negara dan karenanya
aparat negara bukanlah selalu aparat pemerintah.
Birokrasi
merupakan alat negara yang perlu memiliki aturan main sendiri dan didukung oleh
perundang-undangan tersendiri, oleh karena itu korelasi antara birokrasi dan
eksekutif harus diatur sedemikian rupa sehingga birokrasi menjadi
sungguh-sungguh bekerja sebagai abdi negara dan bukan sebagai abdi kekuasaan.
b. Saran
Penulis
sangat berharap Semoga dengan adanya
makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi para
pembaca, karena isi dalam makalah ini banyak membahas tantang sejarah peran
Birokrasi pada era ORLA, ORBA dan Revormasi yang dapat membuka wawasan kita
dalam mengenal kejadian-kejadian pada masa lampau.
Daftar Pustaka
Ø Prof,Dr.Miftah
Thoha,Mpa. Birokrasi Politik PT.Raja Grafindo Persada
Ø Farchan
Bulkin. Analisa Kekuatan Politik Indonesia,